http://www.telegraph.co.uk |
Pada masa kecil, teman-teman sebayanya memanggil Lolek. Masa-masa sampai remaja tampaknya tidak sebahagia teman-temannya. Saat berumur sembilan tahun, ibu yang dicintainya wafat pada usia 40 tahun (+13 April 1929) karena sakit gagal ginjal dan jantung. Tiga tahun kemudian kakak laki-lakinya meninggal (+ 22 Desember 1932) karena demam scarlet septik parah. Bahkan dia sendiri nyaris tewas dua kali akibat tertabrak mobil dan tertabrak truk (1944).
Lolek dikenal sebagai murid yang baik dan mudah bergaul, serta menyukai olahraga. Biasanya pada musim panas, bersama dengan teman-temannya pergi berenang di sungai Skawa. Pada musim dingin bermain sky/skate di lapangan tenis yang beku dekat bar di Venice. Setelah ibu dan kakaknya meninggalkan dunia, Lolek dan ayahnya hidup di sebuah Spartan, apartemen satu kamar di belakang gereja. Ayahnya, membesarkan dan mendidik Lolek dengan disiplin seperti tentara dan belajar agama. Ayahnya berharap besar, kelak Lolek menjadi pelayan Tuhan. Lolek sendiri gemar puisi, teater dan agama.
Setelah lulus sekolah menengah (1938), Lolek dan ayahnya pindah ke Krakow. Di kota ini, ia belajar sastra dan filsafat di Universitas Jagiellonian. Kesempatan baik baginya bergabung dengan kelompok pembaca puisi dan kelompok diskusi sastra.
Ketika Jerman menyerang Polandia (1939), pasukan Nazi menutup universitas. Sebagai seorang muda Lolek harus bekerja (1940-1944) di sebuah pertambangan, kemudian di pabrik kimia Solvay untuk memperoleh nafkah hidup dan untuk menghindari dideportasi ke Jerman. Tak lama kemudian, Februari 1941, ayahnya meninggal dunia dalam usia 61. Ayahnya jelas tidak sempat melihat Lolek menjadi pastor kelak.
*) dari berbagai sumber