Cinta Tumbuh dari Kekurangan

Kasih Seorang Ibu (6)
Dalam hidupnya Ibu Teresa selalu dekat dengan penderitaan manusia yang tersingkir dan terbuang. Ia merasakan pengalaman-pengalaman yang paling getir yang dirasakan dan dialami oleh mereka. Meski demikian, ia tetap percaya akan cinta Tuhan terhadap semua mahluk ciptaanNya. Ia tidak melihat semua penderitaan itu sebagai bentuk ketidakpedulian Tuhan terhadap ciptaanNya. Ia melihat penderitaan itu sebagai bagian dari drama abadi tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan sesamanya. Penderitaan memberikan manusia kesempatan untuk secara kongkret dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan dan sesama. Orang yang menyatakan diri mencintai Tuhan juga harus mewujudkan cintanya itu pada sesama, dua hal ini tak bisa dipisahkan. Dalam perjumpaan dengan orang-orang miskin dan terbuang inilah manusia benar-benar dapat mencintai Tuhan dan sesama secara kongkret.

Ibu Teresa ingin datang dan menawarkan sebuah nilai dasar yang seharusnya diwujudkan oleh setiap orang, yaitu kasih. Bagi Ibu Teresa kasih merupakan sumber dan dasar segala sesuatu. Ibu Teresa mengajak semua orang memulai gerakan budaya kasih dari keluarganya masing-masing. Di mana satu sama lain saling berbagi, saling bercerita dan mendengarkan dan saling melayani dengan cinta. “Kasih berawal dari senyum, kasih bermula dari rumah” ungkap Ibu Teresa.

Ibu Teresa melihat dengan mendalam apa yang sebenarnya menjadi penyebab hancurnya dunia, yaitu bila manusia tidak lagi memiliki cinta. Bagi mereka yang termiskin dari yang miskin, yang sesungguhnya dibutuhkan adalah cinta, perhatian dan penghargaan. Ketika ia merawat dan melayani orang-orang miskin dan sekarat dengan penuh cinta kasih dan perhatian, muncullah sinar kebahagiaan dari wajah mereka. Ketika mereka dicintai dan dihargai sebagai layaknya manusia, di situlah mereka menemukan kembali kebahagiaan mereka yang dirampas oleh keterasingan hidup mereka.

Cinta inilah yang memampukan manusia untuk terus bertahan hidup menghadapi berbagai macam tantangan yang tidak mudah untuk diselesaikan dalam hidup ini. Kemampuan manusia untuk merasakan dicintai dan mencintai inilah yang membuatnya mampu untuk berjuang dan mempertahankan hidupnya. Dalam hubungan cinta inilah orang satu dengan yang lainnya saling membuka diri, saling menerima sebagai pribadi yang unik. Itulah uniknya cinta, biarpun mereka saling menyerahkan diri mereka tetap berdikari dengan kemerdekaannya yang penuh dan justru karena mereka saling menyatukan diri, mereka mampu mewujudkan diri masing-masing.

Cinta Ibu Teresa yang tulus kepada orang-orang yang termiskin dari yang miskin inilah yang mampu menyatukan hidup dan merasakan penderitaan yang dialami oleh mereka yang menderita. Karena cinta, maka meskipun mereka hidup tanpa jaminan dan hanya mengandalkan penyelengaraan Ilahi, namun mereka tetap merasakan kebahagiaan. Curahan cinta itulah yang mampu mengubah hidupnya secara total, sehingga kebahagiaan memancar dari wajah mereka. Anda juga pasti bisa.

Bila Cinta itu Terlupakan

- Kasih Seorang Ibu (5) -

Ada sebuah nilai di balik ketidakberdayaan orang miskin dan terbuang, bahwa mereka selalu memiliki rasa solidaritas dan pelayanan yang tinggi terhadap sesamanya. Kesadaran akan yang lain sebagai bagian dari hidup mereka menjadi salah satu alasan yang mendorong mereka untuk berjuang bersama, berbagi dan membangun sebuah solidaritas yang sejati. Situasi ini membawa Ibu Teresa pada suatu ajakan :
Jadikan hidupmu sebagai pernyataan kebaikan kasih Allah, melalui tatapan mata, air muka, keramahan dalam senyum, dan salam hangatmu. Dengan cara ini, kita dapat memancarkan kebaikan hati kita. Se-ulas senyuman sederhana merupakan kebaikan yang indah. Seseorang yang mencintai dengan tulus adalah orang yang paling berbahagia, sebab segala sesuatu tergantung dari bagaimana kita saling mencintai. Mencintai haruslah menjadi sesuatu yang wajar dan spontan, sebagaimana kita bernafas hari demi hari hingga kematian tiba”.

Orang miskin dan terbuang justru dengan tangan terbuka menerima semua orang yang datang kepada mereka, mereka merasakan bahwa orang lain merupakan bagian dari hidup mereka sendiri. Mereka merindukan sebuah dunia yang dapat menjadi rumah mereka, sebagai ruang gerak yang memberikan kemerdekaan, keleluasaan dan rasa nyaman untuk hidup dan mengaktualkan diri mereka. Ruang gerak itulah yang menjadi kesempatan untuk mengalami dan merasakan hidup dari perjuangan mereka sendiri. Karena itu sebenarnya mereka menyingkapkan kehidupan yang menjadi dambaan universal semua manusia.
Dalam pelayanannya, Ibu Teresa menemukan kerinduan terdalam dalam hidup manusia. Tempat-tempat penampungan yang didirikannya membuat banyak orang menemukan kembali “rumah mereka” yang selama ini dirindukan, sehingga mereka dapat merasa berharga, dicintai sebagai saudara. Di rumah itu lah mereka menemukan kembali persaudaraan dan dapat berbagi satu sama lain. Desmond, seorang relawan yang pernah tinggal dan berkunjung ke tempat penampungan para Suster Misionaris Cintakasih mengungkapkan :
“Saya pernah hadir ketika seorang tua meninggal di Nirmal Hriday, dia seorang Hindu. Saya melihat sendiri, seorang bruder membungkuk sambil merawatnya pada saat terakhir itu: membasahi bibir orang itu dengan air yang diambil dari sungai Gangga yang dipandang kudus. Pernah hal ini saya tanyakan kepada Ibu. Dan ia menjawab dengan sangat jelas. Bahwa setiap orang yang meninggal di sana, diberikan segala hiburan yang mereka minta, sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Orang-orang Islam dikuburkan menurut kebiasaan Islam, dan orang-orang Hindu diperabukan menurut peraturan-peraturan agamanya. Semua ini tentu saja tidak merupakan halangan bagi suster-suster yang baik hati itu untuk menambahkan bukti-bukti cinta dan pengabdiannya.”
Dewasa ini, fenomena sebaliknya terjadi bahwa ada sekian banyak keluarga yang mengalami broken home, yang membuat anak-anak tumbuh tanpa kasih sayang dan perhatian yang cukup. Demikian pun yang terjadi pada keluarga-keluarga di mana orang tua yang terlalu sibuk dengan urusan masing-masing dan tidak mau meluangkan waktu bagi anak-anaknya. Kendati kebutuhan material anak tercukupi bahkan berlebih, namun harus diakui bahwa dalam situasi itu anak-anak justru tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup. Secara pribadi, anak-anak ingin mendengarkan cerita orang tuanya, ingin dihibur, dipuji dan ditegur akan apa yang mereka lakukan. Cepat atau lambat perasaan tidak diterima dan tidak dicintai akan menghancurkan hidup mereka.
Dalam keadaan hampa dan kesepian itulah anak-anak akan tumbuh sebagai pribadi yang pemberontak. Mereka menjadi sinis terhadap keadaan karena mengalami kekecewaaan dan kegelisahan mendalam terhadap keluarga, masyarakat, norma-norma, tradisi dan aturan-aturan lainnya. Hidup bersama orang tua tidak menjamin bahwa “mereka benar-benar memiliki orang tua.” Anak-anak lebih dekat dan berpegang pada kawan-kawan sebaya. Kerap kali anak justru memperlihatkan kepekaan yang besar terhadap apa yang dirasakan dan dipikiran teman-teman sebaya mengenai mereka. Disposisi batin semacam ini membuat anak-anak curiga dan tidak perduli dengan keadaan orang tua. Bagi mereka dikucilkan dan tidak memiliki teman sebaya lebih menyakitkan kendati mereka sering menjadi “budak” dari teman-temannya.Ibu Teresa juga menemukan banyak kenyataan keterasingan yang dialami oleh manusia.
Keterasingan itu ternyata telah merambah dalam diri semua orang, sehingga manusia hidup dalam kubangan egoisme dan kepentingan diri dengan saling berebut dan menjatuhkan. Secara mendalam dalam refleksinya Ibu Teresa menegaskan bahwa adanya penindasan dan ketidakadilan terhadap mereka yang miskin dan tersingkir merupakan tanda bahwa manusia menolak kasih Allah. Realitas keberdosaaan inilah yang mendatangkan korban karena ada ketidakseimbangan dalam kehidupan, tatanan kasih runtuh, parsaudaraan hancur, dan sikap hormat akan Allah terusik.

Cinta Ibu untuk Orang Kecil

- Kasih Seorang Ibu (4) -

“Penyakit terburuk saat ini adalah situasi hidup yang tidak dikehendaki, ditinggalkan dan dilupakan. Momok yang paling besar ialah begitu tergila-gila dengan harta, hampir tidak mempunyai waktudan melupakan orang-orang di sekitar yang membutuhkan kita.”Itulah sebuah cita rasa yang diungkapkan Ibu Teresa dalam hidupnya yang begitu akrab dengan kekurangan dan penderitaan manusia. Hal ini membuatnya memiliki sebuah pandangan yang khas terhadap “orang-orang kecil”. 
Bagi Ibu Teresa, orang-orang kecil adalah mereka yang disingkirkan, ditinggalkan dan dibuang oleh orang lain bahkan oleh orang-orang yang dicintainya. Ia melihat bahwa kebutuhan dasar manusia adalah cinta. Ketika cinta sudah menjadi sesuatu yang sangat langka dan sulit untuk ditemukan, maka di situlah penderitaan dirasakan.
Persoalan kehidupan manusia yang semakin kompleks membuat tak sedikit orang kehilangan orientasi dalam hidupnya, karena tenggelam dalam glamornya dunia. Orang menjadi tidak peduli dengan sesamanya, sehingga tak dapat dipungkiri orang merasakan hidupnya kesepian, tak bermakna, hampa, tak dicintai dan merasa tak berarti lagi. Bagi Ibu Teresa, mereka-lah yang disebut miskin dan terbuang. 
Penderitaan mereka yang miskin dan terbuang bukan hanya karena penyakit yang dideritanya, melainkan juga karena sikap masyarakat atau orang-orang yang dulu pernah dikenal, dicintai dan mencintainya; kini mengasingkan, menyingkirkan. Itulah sebuah penolakan yang mengukir “luka batin” sangat dalam bagi mereka yang menderita, disingkirkan dan diasingkan dari hidupnya. Mereka harus berjuang dengan berbagai cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Secara hakiki mereka tidak ingin diasingkan dan disingkirkan dari kehidupan masyarakat. Mereka mempunyai hak untuk hidup bersama dan berjuang dalam kehidupan ini.
Kalkuta merupakan potret salah satu tempat terdapat banyak orang miskin. Bagi Ibu Teresa ada banyak ‘kalkuta lain’ bila kita mau membuka mata terhadap orang-orang di sekitar kita. Mereka membutuhkan waktu dan keterbukaan hati untuk bisa menemukan kembali jati diri hidup mereka sebagai gambar dan citra Allah yang sangat berharga. Ibu Teresa mengajak setiap orang untuk peka terhadap mereka. Ia mengatakan bahwa kita harus mulai dari keluarga kita, kemudian tetangga dan orang-orang di sekitar kita.

Pengosongan Diri dan Kerendahhatian

- Kasih Seorang Ibu (3) -  

Sebuah gelas yang terisi penuh tentu tidak akan bisa diisi lagi. Dengan kata lain semakin gelas itu dikosongkan, akan semakin banyak isi yang dapat dituangkan ke dalam gelas itu. Proses pergulatan semacam inilah yang dialami oleh Ibu Teresa untuk semakin membiarkan hidupnya diisi oleh Allah, sebuah proses pergulatan rohani untuk rela melepaskan diri dari kepentingan ego dan kelemahan manusiawi, kemudian bergerak menuju kebebasan sejati sebagai anak-anak Allah. Kesadaran manusiawi setiap orang tentunya selalu mengarahkan manusia untuk memuaskan keinginan dan kebutuhannya. Melihat kenyataan ini, tentu tidak mudah untuk sampai pada pengosongan diri, mengingat bahwa dalam pengosongan diri orang harus berani meninggalkan semua itu demi Allah.
Ada sebuah pergolakan atau tarik ulur dalam batin setiap orang ketika ia berusaha mencapai pengosongan diri. Pengalaman sepi, kering, dan krisis dalam hidup rohani merupakan pengalaman yang akan dihadapi setiap orang. Pengalaman ini memang harus dihadapi karena ini menjadi satu rangkaian pengolahan hidup rohani untuk semakin menemukan sesuatu yang lebih dalam dan berarti sehingga tidak mengalami kemandegan.
Pergolakan semacam ini juga dialami oleh Ibu Teresa, namun pergolakan ini semakin membawa dirinya masuk lebih dalam dalam pengalaman rohani. Pengalaman ini membawanya untuk melihat bagaimana Yesus sendiri sebagai Putera Allah rela mengosongkan diriNya, menjadi manusia yang tak berdaya (Flp. 2:6). Pengosongan diri merupakan sikap dan pilihan hidup seseorang. “Semakin ‘kosong’ dan tak berarti, semakin bersedia untuk diisi” ungkap Ibu Teresa.
Proses inilah yang membawanya pada penghayatan hidup rohani yang mendalam, sehingga ia semakin mampu membuka diri dan keluar dari dalam diri serta membiarkan kasih Allah memenuhi hatinya. Melepaskan diri dari keinginan dan kehendak diri serta kesenangan hidup yang tidak sesuai, kemudian mengarahkan diri kepada kehendak Allah.
Pengosongan diri memang berkaitan erat dengan sikap rendah hati. Pengosongan diri membawa seseorang pada kesadaran bahwa dirinya hanya bisa melakukan segala sesuatu karena Dia. Kesadaran pribadi bahwa saya sendiri tidak bisa berbuat apa-apa, karena lemah, berdosa dan tak berarti dihadapan Allah, membawa seseorang pada sikap rendah hati dan senantiasa menyatukan hidupnya pada Allah. Allah-lah yang membuat hidupnya menjadi berarti. Ibu Teresa memberikan tanda-tanda bahwa seseorang memiliki kerendahan hati yang sejati: Daya tahan untuk terus bergumul, rasa hormat, ketaatan, kegembiraan dalam menerima keterbatasan dan kekurangan, kasih akan sesama terutama mereka yang miskin dan tersingkir, serta ketabahan dalam menghadapi penderitaan dan luka.

Kekuatan Doa dan Ekaristi

- Kasih Seorang Ibu (2) -

“Jika keheningan dapat dipelihara, kita akan lebih mudah masuk dalam suasana doa dan mengembangkan hidup doa kita. Namun kalau sudah terlalu banyak bicara kenangan, masa lalulah yang sering diputar-putar dan ada begitu banyak berita yang kita bawa dan dengar.
Dalam doa kita mesti meninggalkan semua itu sebab hati kita perlu hening. Sebagaimana dikatakan hanya dalam keheningan hati Tuhan berbicara. Barulah setelah itu kita dapat mendengarkan dan berbicara dari kepenuhan hati kita.” Bagi Ibu Teresa, doa menjadi satu-satunya kunci untuk tetap bertahan dan melaksanakan kehendak Allah. Ketika ia ditanya seseorang tentang bagaimana para pengikutnya mempertahankan imannya ? Ia menjawab “Dengan doa.“ Doa menjadi sumber kekuatan dalam hidup para pengikutnya. Dalam doa dan dalam keheningan lahir-batin itulah seseorang dapat berbicara dan mendengarkan Allah.
Doa menjadi yang utama, sehingga ketika ada seseorang suster yang mengusulkan tambahan waktu untuk melayani orang miskin dan tersingkir yang juga berarti mengurangi waktu doa, ia dengan tegas menolak. Bahkan ia menambah 1 jam waktu untuk berdoa. Ia mau menunjukkan betapa pentingnya hidup doa yang memupuk kedekatan relasinya dengan Kristus. Karya pelayanan harus mengalir dari kedekatan relasi dengan Kristus itu, sehingga semakin mampu menyebarkan kegembiraan dan cinta pada semua orang. Jalan sederhana yang diajarkan Ibu Teresa kepada para pengikutnya adalah : Buah keheningan adalah doa, buah dari doa adalah iman, buah dari iman adalah cinta, buah dari cinta adalah pelayanan, buah dari pelayanan adalah damai. Jalan sederhana inilah yang akan membantu setiap orang untuk tetap setia dan teguh dalam karya dan dalam membangun hidup rohaninya dalam relasinya dengan Allah dan sesama.
Ibu Teresa juga sangat terpikat oleh Ekaristi dan misteri yang ada di dalamnya. Kedalaman hidup rohani Ibu Teresa yang begitu terpikat dengan Ekaristi diungkapkan dalam doanya: “Lihatlah, ya Yesus terkasih, seberapa jauh cintaMu yang tidak terbatas telah membawaMU. Dari Tubuh dan DarahMu yang sangat berharga. Engkau telah menyiapkan bagiku sebuah perjamuan Ilahi agar Engkau memberikan diriMu kepadaku. Apa yang mendorong Engkau melakukan tindakan kasih ini? HatiMu, hati yang penuh kasih. Dalam perapian cinta IlahiMu yang menyala-nyala terimalah jiwaku, agar aku dapat belajar menjadi layak untuk menerima cinta Allah yang telah memberikan bukti kasihNya yang mengagumkan. Amin.”
Bagi Ibu Teresa, Ekaristi menjadi sumber daya rohani yang tiada tara. Dalam Ekaristi, ia menemukan kasih Allah yang nyata yang terwujud dalam tubuh dan darah Kristus dalam rupa roti dan anggur. Yesus yang rela turun ke dunia, menjadi manusia dan mengorbankan dirinya demi keselamatan semua manusia. Di dalam Ekaristi kudus inilah Ibu Teresa menemukan makna mulia dari korban dan penderitaan itu. Dalam doa dan Ekaristi itulah, Kristus menjadi satu-satunya yang menjadi sumber kehidupan yang senantiasa menyegarkan dahaga setiap orang, Ia menjadi tumpuan bagi siapa saja yang memiliki beban berat dan kelesuan (bdk Mat.11:29-29).

Iman yang Melahirkan Cinta

- Kasih Seorang Ibu (1) -

“Pribadi itu berkarakter sangat altruis. Penghayatan hidup dan semangat imannya layak menjadi teladan bagi semua orang”. Itulah ungkapan Paus Yohanes Paulus II untuk menunjukkan sikap kedekatan sekaligus penghargaannya kepada Ibu Teresa. 
Mencintai adalah sebuah undangan atau panggilan bagi semua orang. Ibu Teresa adalah salah satu sosok yang memenuhi undangan itu. Undangan itu didengarnya dari seruan Yesus, “I thirst” and “you did it to me” – remember always to connect the two , the Aim and the means. What God has joined together let no one split apart. Do not underestimate our practical means – the work for the poor, no matter how small or humble-that make our life something beautiful for God [1].
Seruan Tuhan Yesus di salib “I thirst” itulah yang menjadi dasar panggilan dari pelayanan kasih Ibu Teresa. Semuanya diarahkan kepada Yesus, dalam suatu relasi yang intim denganNya yang akhirnya membuahkan pelayanan yang total. Salah satu bentuk jawaban yang total atas panggilan Yesus adalah mencintai dan dekat dengan Yesus yang tersalib yang terwujud dalam diri mereka yang paling miskin dan tersingkir. Mungkin bagi sebagian orang, bentuk pelayanan itu dianggap rendah (humble works). Tetapi itulah pelayanan kasih yang telah dibuat oleh Ibu Teresa.
Undangan Yesus yang terus bergema dalam hati Ibu Teresa menjadikan relasinya dengan Allah semakin mendalam. Ia semakin merasakan Allah yang amat mencitainya, sehingga tidak bisa tidak ia terdorong untuk membagikan cinta itu kepada sesama khususnya mereka yang miskin dan tersingkir. Dalam suratnya kepada Uskup Agung Kalkuta, Mgr. Ferdinan Perier SJ, tanggal 13 januari 1947 dituliskan pula bahwa gema undangan itu begitu kuat dalam hatinya. Allah meminta pemberian diri Ibu Teresa untuk memberikan cintan, yang di dalamnya terkandung kesediaan untuk menanggung penderitaan jiwa-jiwa terlebih mereka yang termiskin dari yang miskin.
Keterpesonaan Ibu Teresa pada Yesus membawanya pada perjumpaan pribadi yang mendalam. Menjadi mempelai Kristus yang tersalib mengandaikan juga kesediaan untuk memanggul salib. Ini bukanlah perkara yang mudah, sehingga bisa dipahami bila ia mengalami pergumulan batin dan pengolahan rohani yang panjang. Ia harus masuk ke dalam pengalaman kesendirian, ketidak-terjaminan, kesepian, dan ketidakpastian tentang hidupnya.
Akhirnya dengan penuh kemantapan ia pun memutuskan untuk meninggalkan biaranya dan menapaki panggilan yang menggema di dalam hatinya. Ia sangat yakin dan percaya akan penyelenggaraan Ilahi, kendati ia harus masuk dalam situasi yang tidak pasti. Ia harus meninggalkan hidup yang selama ini ia cintai dan hidupi untuk memulai sesuatu yang baru. Sesuatu yang kurang jelas sehingga membuat orang bertanya karena tidak mengerti. Suatu pengalaman yang menggelisahkan dan tak jarang menyakitkannya, “sejujurnya dalam hatiku, semua itu kadang gelap”.
“Hanya iman yang buta yang membawaku.” Ungkapan inilah yang menggambarkan perjalanan kesepian rohani Ibu Teresa. Para mistikus dalam perjalanan rohaninya sering mengungkapkan : Hanya sikap iman yang mampu menuntunnya melewati “malam gelap jiwa”. Cinta dan kesetiaan yang mendalam akan Yesus membuatnya mampu bertahan. Paulus mengatakan “aku hidup tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Gal. 2:20). Ibu Teresa mampu melihat cakrawala baru bahwa dalam pengalaman kekosongan ia dapat mensyukuri dan memahami bahwa dirinya kuat hanya dalam dan karena topangan daya Ilahi.
Ibu Teresa berhasil menjawab secara total apa yang menjadi panggilan Allah dalam dirinya melalui sebuah proses yang panjang dengan berbagai dinamika yang dialaminya. Dalam proses inilah ia mengalami pergumulan yang tidak ringan. Meskipun pergumulan itu begitu berat, tidak berarti menghilangkan kenyataan akan kesetiaan akan panggilan hidupnya.
Persatuan cinta dengan Kristus merupakan satu-satunya sumber kekuatan hidup & pelayanan kasih Ibu Teresa. Keutamaan ini terinspirasikan oleh tokoh teladan yang dikagumi dan menjadi pelin- dung hidupnya yaitu Santa Theresia Lisieux. Sebuah semangat yang ditimbanya dari Santa Theresia Lesieux adalah “Bila aku berbuat atau memikirkan sesuatu dengan cinta kasih, aku merasa bahwa Yesuslah yang berdiam dan bekerja di dalam diriku. Makin erat persatuanku dengan Dia, semakin aku mencintai saudara-saudaraku”.
Oleh karena itu tak dapat dipungkiri bila akhirnya hidup ibu Teresa menjadi teladan bagi banyak orang. Secara terbuka Ibu Teresa sendiri tentu ingin mewariskan kekayaan rohani yang selama ini dihidupi dan menjadi sumber hidupnya. Salah satu bentuk warisan itu adalah dalam pengikraran kaul yang keempat. Dalam kaul keempat ini Ia harus mendasarkan hidup dan pelayanannya pada kesatuan cinta yang mesra dengan Allah. Kesatuan ini haruslah senantiasa dipupuk dan ditumbuhkan dalam doa serta cinta terhadap sesama.
”Whole hearted free service to the poorest of the poor”. Pelayanan harus mengalir dari hidup rohani. Ketika melayani bukan hanya tangan dan kaki yang melayani, tetapi juga hati untuk mencintai dengan ketulusan dan kerendahan hati. 
1] Lih. teks surat Mother Teresa yang ditulis tanggal 25 Maret 1993 di Varanari.