Ia begitu terpesona dengan Hati Tuhan


“Semoga Tubuh dan Darah-Mu semakin memperkuat imanku dan memberikan ketabahan kepadaku untuk selalu setia kepada-Mu,” demikianlah doa sederhana seorang anak bernama Margaretha Maria Alacque.
Ia dilahirkan di L’Hautecourt, Burgundy, Perancis (22 Juli 1647), sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, dari pasangan Claude Alacoque dan Philiberte Lamyn. Ia tumbuh sebagai anak yang saleh. Ia menerima Komuni Pertama pada usia sembilan tahun, dan sesudahnya Margaretha sering melakukan mati raga secara diam-diam.
Basilika di Paray-le-Monial, Prancis (doc.4/6/2014)

Ketika usianya sebelas tahun ia jatuh sakit, menjadi lumpuh dan harus tinggal di tempat tidur selama empat tahun. Suatu hari, ia membuat janji kepada Bunda Maria untuk menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Bunda Maria menampakkan diri kepadanya dan seketika itu juga dia sembuh.

Sapaan Tuhan serasa terus bergema di hati dan hidup Margaretha, lalu pada tanggal 25 Mei 1667, ia memutuskan untuk masuk Biara Visitasi di Paray-le-Monial, Prancis dan pada bulan November 1672 ia mengikrarkan kaul kekalnya.

Margaretha amat dikenal sebagai seorang biarawati yang rendah hati dan saleh. Maka bisa dipahami bila Yesus amat dekat dengan hidupnya. Yesus menampakkan diri kepadanya  (1675), dan ingin agar Margaretha menyebarkan devosi kepada Hati-Nya Yang Mahakudus. Bagi Margaretha perutusan ini tidaklah mudah dan ia tahu begitu banyak rintangan. Tetapi Margaretha setia melaksanakannya, ia percaya bahwa kehendak Allah menjadi yang utama baginya.

Dalam salah satu tulisannya Margaretha mengungkapkan: “Saya rasa tidak ada daya upaya yang lebih pasti menuju ke keselamatan kekal daripada mempersembahkan diri kepada Hati Kudus untuk memberikan segala pujian, cinta kasih, hormat dan kemuliaan yang kita janjikan kepada-Nya”.

Kapel, tempat penampakan Hati Yesus kepada Margaretha
Setelah penampakan Yesus itu, dinamika hidup rohani Margaretha semakin intens. Bahkan ia menetapkan Jam Kudus yaitu jam sebelas malam sampai tengah malam menjelang fajar Jumat Pertama setiap bulan. Pada saat Jam Kudus itulah Margaretha berdoa meniarap dengan mukanya mencium tanah, sebagai bentuk disposisi batinnya yang berserah kepada Hati Tuhan. Dan Yesus menghargai usaha keras dan pengorbanannya.

Margaretha dipanggil untuk menghadap Bapa pada tanggal 17 Oktober 1690, di usianya yang kurang lebih 43 tahun. Pada tanggal 18 September 1864 dibeatifikasi oleh Paus Pius IX dan pada tanggal 13 Mei 1920 dikanonisasi sebagai santa oleh Paus Benedektus XV. Pestanya kita peringati setiap tanggal 16 Oktober.

Romo Middledorp SCJ

Petrus Cornelius Maria Middeldorp SCJ adalah putra Petrus Henricus Maria Middeldorp dan Cornelia Dieben, yang lahir di Heerlem pada 17 November 1920.

Setelah menyelesaikan seminari menengah, ia masuk postulat SCJ di Asten (1941) dan novisiat di Asten (1942). Studi filsafat ditempuh di Liesboch dan teologianya di Sittard dan Nijmegen. Dan pada saatnya, ia ditahbisankan menjadi diakon bersama-sama 20 frater SCJ (28 Mei 1947) di kapel Santa Maria Seminari Tinggi SCJ, Nijmegen oleh Mgr. Nicolas Verhoeven, MSC. Lalu ia ditahbiskan menjadi imam SCJ bersama-sama 18 frater SCJ (20 Juli 1947) di tempat yang sama oleh Mgr. William Petrus Bartholemeus Cobben, SCJ, Vikaris Apostolik Finlandia.

Setelah tahbisan imam, ia dipercaya mengemban tugas sementara di Seminari Tinggi SCJ di Nijmegen. Ia menerima pemberitahuan dari Prokurator Misi SCJ (September 1948) untuk menjadi misionaris di Sumatera Selatan bersama P. Antonius Oonk SCJ. Dan pada saatnya, ia meninggalkan Nijmegen (24 Juni 1949), berangkat ke Sumatera bagian Selatan bersama Pastor Oonk dan Bruder Caspar Kloos. Ia mempersiapkan diri di Amsterdam dan akhirnya tiba di Sumatera - Palembang pada 5 Agustus 1949.

Pada awalnya ia menjadi seorang guru di Seminari Menengah Santo Paulus Palembang, yang saat itu masih menggunakan sebagian pastoran Hati Kudus. Ia pun turut pindah ke Lahat sebab seminari dipindahkan ke Lahat.

Ia sempat untuk sementara berkarya di Paroki Bengkulu. Lalu kembali ke Palembang untuk menjadi pastor rekan di Paroki Katedral St. Maria hingga tahun 1956. Ia pun kembali dipercaya untuk mengemban tugas menjadi staf di Seminari Menengah Santo Paulus, dan sebagai tugas pastoral yang lain ia melayani umat Katolik di Sungai Gerong. Beberapa tahun kemudia ia diberi tanggungjawab sebagai pastor paroki Lahat (Juli 1957 - Maret 1965).

Setelah itu, ia kembali ke Palembang dan menjadi pastor rekan di Paroki Hati Kudus. Pada waktu yang bersamaan, ia juga menerima tanggungjawab mempersiapan dan merintis sebuah paroki baru, yang hingga sekarang menjadi salah satu paroki di kodya Palembang, yakni paroki St. Yoseph. Ia pun diangkat sebagai pastor paroki pertama di paroki itu.

Salah satu warisan Pastor Middeldorp adalah teladannya sebagai pribadi pengagum dan pencinta St. Perawan Maria. Devosinya kepada Bunda Maria melahirkan kharismanya yang luar biasa sebagai gembala di tengah umat. Hal lain yang amat lekat di hati umat adalah reksa pastoral kunjungan umat di Paroki Santo Yoseph. Salah satu hal menarik bahwa ia tidak memilih-milih umat yang akan dikunjungi, meskipun ia sendiri memiliki prioritas tertentu. Misalnya, ia selalu mengutamakan untuk mengunjungi umatnya yang sudah lama tidak kelihatan hadir di gereja mengikuti misa Mingguan atau bahkan perayaan Natal dan Paskah. Lalu prioritas berikutnya adalah ia selalu mencari dan mengunjungi umatnya yang sakit terutama yang sakitnya hampir tak tersembuhkan, pun umatnya yang sudah lanjut usia.

Akhirnya, di usianya yang semakin lanjut ia memilih dan memutuskan untuk menghabiskan masa lansianya di Belanda (Juli 1993). Ia tinggal di biara SCJ di Asten. Pada akhirnya Allah memanggilnya pada 22 April 1999 dan dimakamkan di Asten.