- Kasih Seorang Ibu (5) -
Ada sebuah nilai di balik ketidakberdayaan orang miskin dan terbuang,
bahwa mereka selalu memiliki rasa solidaritas dan pelayanan yang tinggi
terhadap sesamanya. Kesadaran akan yang lain sebagai bagian dari hidup
mereka menjadi salah satu alasan yang mendorong mereka untuk berjuang
bersama, berbagi dan membangun sebuah solidaritas yang sejati. Situasi
ini membawa Ibu Teresa pada suatu ajakan :
Jadikan
hidupmu sebagai pernyataan kebaikan kasih Allah, melalui tatapan mata,
air muka, keramahan dalam senyum, dan salam hangatmu. Dengan cara ini,
kita dapat memancarkan kebaikan hati kita. Se-ulas senyuman sederhana
merupakan kebaikan yang indah. Seseorang yang mencintai dengan tulus
adalah orang yang paling berbahagia, sebab segala sesuatu tergantung
dari bagaimana kita saling mencintai. Mencintai haruslah menjadi sesuatu
yang wajar dan spontan, sebagaimana kita bernafas hari demi hari hingga
kematian tiba”.
Orang
miskin dan terbuang justru dengan tangan terbuka menerima semua orang
yang datang kepada mereka, mereka merasakan bahwa orang lain merupakan
bagian dari hidup mereka sendiri. Mereka merindukan sebuah dunia yang
dapat menjadi rumah mereka, sebagai ruang gerak yang memberikan
kemerdekaan, keleluasaan dan rasa nyaman untuk hidup dan mengaktualkan
diri mereka. Ruang gerak itulah yang menjadi kesempatan untuk mengalami
dan merasakan hidup dari perjuangan mereka sendiri. Karena itu
sebenarnya mereka menyingkapkan kehidupan yang menjadi dambaan universal
semua manusia.
Dalam pelayanannya, Ibu Teresa
menemukan kerinduan terdalam dalam hidup manusia. Tempat-tempat
penampungan yang didirikannya membuat banyak orang menemukan kembali
“rumah mereka” yang selama ini dirindukan, sehingga mereka dapat merasa
berharga, dicintai sebagai saudara. Di rumah itu lah mereka menemukan
kembali persaudaraan dan dapat berbagi satu sama lain. Desmond, seorang
relawan yang pernah tinggal dan berkunjung ke tempat penampungan para
Suster Misionaris Cintakasih mengungkapkan :
“Saya
pernah hadir ketika seorang tua meninggal di Nirmal Hriday, dia seorang
Hindu. Saya melihat sendiri, seorang bruder membungkuk sambil merawatnya
pada saat terakhir itu: membasahi bibir orang itu dengan air yang
diambil dari sungai Gangga yang dipandang kudus. Pernah hal ini saya
tanyakan kepada Ibu. Dan ia menjawab dengan sangat jelas. Bahwa setiap
orang yang meninggal di sana, diberikan segala hiburan yang mereka
minta, sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Orang-orang Islam
dikuburkan menurut kebiasaan Islam, dan orang-orang Hindu diperabukan
menurut peraturan-peraturan agamanya. Semua ini tentu saja tidak
merupakan halangan bagi suster-suster yang baik hati itu untuk
menambahkan bukti-bukti cinta dan pengabdiannya.”
Dewasa
ini, fenomena sebaliknya terjadi bahwa ada sekian banyak keluarga yang
mengalami broken home, yang membuat anak-anak tumbuh tanpa kasih sayang
dan perhatian yang cukup. Demikian pun yang terjadi pada
keluarga-keluarga di mana orang tua yang terlalu sibuk dengan urusan
masing-masing dan tidak mau meluangkan waktu bagi anak-anaknya. Kendati
kebutuhan material anak tercukupi bahkan berlebih, namun harus diakui
bahwa dalam situasi itu anak-anak justru tidak mendapatkan kasih sayang
dan perhatian yang cukup. Secara pribadi, anak-anak ingin mendengarkan
cerita orang tuanya, ingin dihibur, dipuji dan ditegur akan apa yang
mereka lakukan. Cepat atau lambat perasaan tidak diterima dan tidak
dicintai akan menghancurkan hidup mereka.
Dalam keadaan
hampa dan kesepian itulah anak-anak akan tumbuh sebagai pribadi yang
pemberontak. Mereka menjadi sinis terhadap keadaan karena mengalami
kekecewaaan dan kegelisahan mendalam terhadap keluarga, masyarakat,
norma-norma, tradisi dan aturan-aturan lainnya. Hidup bersama orang tua
tidak menjamin bahwa “mereka benar-benar memiliki orang tua.” Anak-anak
lebih dekat dan berpegang pada kawan-kawan sebaya. Kerap kali anak
justru memperlihatkan kepekaan yang besar terhadap apa yang dirasakan
dan dipikiran teman-teman sebaya mengenai mereka. Disposisi batin
semacam ini membuat anak-anak curiga dan tidak perduli dengan keadaan
orang tua. Bagi mereka dikucilkan dan tidak memiliki teman sebaya lebih
menyakitkan kendati mereka sering menjadi “budak” dari
teman-temannya.Ibu Teresa juga menemukan banyak kenyataan keterasingan
yang dialami oleh manusia.
Keterasingan itu ternyata
telah merambah dalam diri semua orang, sehingga manusia hidup dalam
kubangan egoisme dan kepentingan diri dengan saling berebut dan
menjatuhkan. Secara mendalam dalam refleksinya Ibu Teresa menegaskan
bahwa adanya penindasan dan ketidakadilan terhadap mereka yang miskin
dan tersingkir merupakan tanda bahwa manusia menolak kasih Allah.
Realitas keberdosaaan inilah yang mendatangkan korban karena ada
ketidakseimbangan dalam kehidupan, tatanan kasih runtuh, parsaudaraan
hancur, dan sikap hormat akan Allah terusik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar