Iman yang Melahirkan Cinta

- Kasih Seorang Ibu (1) -

“Pribadi itu berkarakter sangat altruis. Penghayatan hidup dan semangat imannya layak menjadi teladan bagi semua orang”. Itulah ungkapan Paus Yohanes Paulus II untuk menunjukkan sikap kedekatan sekaligus penghargaannya kepada Ibu Teresa. 
Mencintai adalah sebuah undangan atau panggilan bagi semua orang. Ibu Teresa adalah salah satu sosok yang memenuhi undangan itu. Undangan itu didengarnya dari seruan Yesus, “I thirst” and “you did it to me” – remember always to connect the two , the Aim and the means. What God has joined together let no one split apart. Do not underestimate our practical means – the work for the poor, no matter how small or humble-that make our life something beautiful for God [1].
Seruan Tuhan Yesus di salib “I thirst” itulah yang menjadi dasar panggilan dari pelayanan kasih Ibu Teresa. Semuanya diarahkan kepada Yesus, dalam suatu relasi yang intim denganNya yang akhirnya membuahkan pelayanan yang total. Salah satu bentuk jawaban yang total atas panggilan Yesus adalah mencintai dan dekat dengan Yesus yang tersalib yang terwujud dalam diri mereka yang paling miskin dan tersingkir. Mungkin bagi sebagian orang, bentuk pelayanan itu dianggap rendah (humble works). Tetapi itulah pelayanan kasih yang telah dibuat oleh Ibu Teresa.
Undangan Yesus yang terus bergema dalam hati Ibu Teresa menjadikan relasinya dengan Allah semakin mendalam. Ia semakin merasakan Allah yang amat mencitainya, sehingga tidak bisa tidak ia terdorong untuk membagikan cinta itu kepada sesama khususnya mereka yang miskin dan tersingkir. Dalam suratnya kepada Uskup Agung Kalkuta, Mgr. Ferdinan Perier SJ, tanggal 13 januari 1947 dituliskan pula bahwa gema undangan itu begitu kuat dalam hatinya. Allah meminta pemberian diri Ibu Teresa untuk memberikan cintan, yang di dalamnya terkandung kesediaan untuk menanggung penderitaan jiwa-jiwa terlebih mereka yang termiskin dari yang miskin.
Keterpesonaan Ibu Teresa pada Yesus membawanya pada perjumpaan pribadi yang mendalam. Menjadi mempelai Kristus yang tersalib mengandaikan juga kesediaan untuk memanggul salib. Ini bukanlah perkara yang mudah, sehingga bisa dipahami bila ia mengalami pergumulan batin dan pengolahan rohani yang panjang. Ia harus masuk ke dalam pengalaman kesendirian, ketidak-terjaminan, kesepian, dan ketidakpastian tentang hidupnya.
Akhirnya dengan penuh kemantapan ia pun memutuskan untuk meninggalkan biaranya dan menapaki panggilan yang menggema di dalam hatinya. Ia sangat yakin dan percaya akan penyelenggaraan Ilahi, kendati ia harus masuk dalam situasi yang tidak pasti. Ia harus meninggalkan hidup yang selama ini ia cintai dan hidupi untuk memulai sesuatu yang baru. Sesuatu yang kurang jelas sehingga membuat orang bertanya karena tidak mengerti. Suatu pengalaman yang menggelisahkan dan tak jarang menyakitkannya, “sejujurnya dalam hatiku, semua itu kadang gelap”.
“Hanya iman yang buta yang membawaku.” Ungkapan inilah yang menggambarkan perjalanan kesepian rohani Ibu Teresa. Para mistikus dalam perjalanan rohaninya sering mengungkapkan : Hanya sikap iman yang mampu menuntunnya melewati “malam gelap jiwa”. Cinta dan kesetiaan yang mendalam akan Yesus membuatnya mampu bertahan. Paulus mengatakan “aku hidup tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Gal. 2:20). Ibu Teresa mampu melihat cakrawala baru bahwa dalam pengalaman kekosongan ia dapat mensyukuri dan memahami bahwa dirinya kuat hanya dalam dan karena topangan daya Ilahi.
Ibu Teresa berhasil menjawab secara total apa yang menjadi panggilan Allah dalam dirinya melalui sebuah proses yang panjang dengan berbagai dinamika yang dialaminya. Dalam proses inilah ia mengalami pergumulan yang tidak ringan. Meskipun pergumulan itu begitu berat, tidak berarti menghilangkan kenyataan akan kesetiaan akan panggilan hidupnya.
Persatuan cinta dengan Kristus merupakan satu-satunya sumber kekuatan hidup & pelayanan kasih Ibu Teresa. Keutamaan ini terinspirasikan oleh tokoh teladan yang dikagumi dan menjadi pelin- dung hidupnya yaitu Santa Theresia Lisieux. Sebuah semangat yang ditimbanya dari Santa Theresia Lesieux adalah “Bila aku berbuat atau memikirkan sesuatu dengan cinta kasih, aku merasa bahwa Yesuslah yang berdiam dan bekerja di dalam diriku. Makin erat persatuanku dengan Dia, semakin aku mencintai saudara-saudaraku”.
Oleh karena itu tak dapat dipungkiri bila akhirnya hidup ibu Teresa menjadi teladan bagi banyak orang. Secara terbuka Ibu Teresa sendiri tentu ingin mewariskan kekayaan rohani yang selama ini dihidupi dan menjadi sumber hidupnya. Salah satu bentuk warisan itu adalah dalam pengikraran kaul yang keempat. Dalam kaul keempat ini Ia harus mendasarkan hidup dan pelayanannya pada kesatuan cinta yang mesra dengan Allah. Kesatuan ini haruslah senantiasa dipupuk dan ditumbuhkan dalam doa serta cinta terhadap sesama.
”Whole hearted free service to the poorest of the poor”. Pelayanan harus mengalir dari hidup rohani. Ketika melayani bukan hanya tangan dan kaki yang melayani, tetapi juga hati untuk mencintai dengan ketulusan dan kerendahan hati. 
1] Lih. teks surat Mother Teresa yang ditulis tanggal 25 Maret 1993 di Varanari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar